Judul : Hanya Salju dan Pisau Batu-- 
Penulis : Pidi Baiq dan Happy Salma-- 
Rate : Menyenangkan sekaligus menyebalkan-- 
Uuh moment : "Alienasi"

Ini adalah buku kolaboratif. Ditulis oleh Pidi Baiq dan Happy Salma. Ah, kenapa saya malah menuliskan Pidi Baiq lebih dulu dibanding Happy Salma, berbeda dengan yang dituliskan di buku. Tak jelas apakah buku ini fiksi atau bukan. Tulisannya bercampur-campur antara curhatan, cerita fiksi pendek, cerita fakta berkedok fiksi dan gagasan serta opini yang bahkan terkadang kritis sekaligus filosofis.

Buku ini menyenangkan sekaligus menyebalkan. Menyenangkan karena bikin penasaran. Apakah gerangan yang akan menjadi tulisan balasan untuk tulisan sebelumya. Pertanyaan itu jadi bahan bakar yang membuat saya terus melanjutkan buku sampai habis.

Bentuk tulisan yang saling berbalas ini juga membuat saya teringat dengan budaya berkirim surat dengan sahabat pena yang belum pernah bertatap muka. Dan ternyata benar, Pidi Baiq dan Happy Salma saat menulis buku ini belum pernah bertemu sama sekali (Tapi dari situ timbul pertanyaan, apa yang membuat mereka berkolaborasi membuat buku. Hmm, mungkin karena Happy Salma selebritis dan dia membaca buku Pidi Baiq)

Aksi berbalas cerita ini mengingatkan saya pada kisah Mary dan Max di film Mary and Max, dua sahabat pena beda umur dan dipisahkan jarak yang begitu jauh. Mary di Australia, Max di Amerika. Mereka begitu intim bertukar kisah dan pemikiran, bahkan hingga bertahun-tahun. 

Berdasarkan pengalaman pribadi dalam berkirim kartu pos pun, saya juga merasakan serunya bertukar cerita dengan orang asing. Mungkin karena itu juga buku ini menyenangkan bagi saya. Entah gimana, saya malah bisa mencurahkan isi hati kepada orang yang saya tak kenal itu. Dan begitu jugalah yang terjadi pada buku ini, Happy Salma terasa begitu mantap menceritakan kejadian-kejadian di hidupnya. Buku ini pun tak jadi sepenuhnya buku fiksi, karena Happy bercerita seperti dia menulis diari. Dia bercerita tentang sosok Ayahnya yang ia cinta, tentang pertunjukan teater yang ia hadiri, tentang masa kecilya, juga tentang kegilasahannya atas gaji teman kerjanya yang sangat kecil.

Pidi Baiq, selalu merespon cerita-cerita Happy Salma. Entah dengan banyolan ngawur, uraian filosofis dan logis tentang apa yang dipersoalkan di cerita Happy Salma; dengan cerita fiksi yang satu tema, atau mengurai gagasan-gagasan kritis. Ya, di buku ini, Pidi Baiq sering sekali mengeluarkan sisi kritisnya. Contohnya, Pidi Baiq bahkan, dalam tulisan berjudul Alienasi, mengutip Karl Marx untuk merespon cerita Happy Salma tentang penghasilan seorang seniman. 

Sayangnya, dan juga curangnya, tulisan-tulisan Pidi Baiq sangat jarang direspon oleh Happy Salma. Hmm, apa memang kolaborasi ini memang dibuat satu arah? Ah, oke, catat ini sebagai hal yang menyebalkan dari buku ini.

Menarik untuk dicermati juga kehidupan Happy Salma ini. Tuturan ceritanya mencerminkan bagaimanakah gaya hidup masyarakat kelas menengah yang suka sastra. Dia berpenghasilan tinggi, bergaul dengan sosialita, ikut arisan rutin bersama ibu-ibu sekelasnya, menaruh atensi lebih pada detil, termasuk pada ketimpangan yang terjadi di lingkungannya, ia iba pada rekan kerjanya yang kerjanya berat tapi gajinya sangat kecil. Ia sadar gajinya berkali-kali lipat lebih besar daripadanya, ia juga sadar kalau rasa ibanya besar. Ia berbelas kasih. Tapi sayang, tanpa aksi. Ia hanya bisa diam, dan tak bekutik sedikitpun. Ia hanya bisa iba. Ah, persis sekali dengan kelas menengah lainnya yang berisik mengeluh di Twitter.


Pidi dan Happy sama-sama kelas menengah. Tapi mereka menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Pidi gemar memberi uang kepada orang asing secara spontan. Ia juga akrab bergaul dengan tetangganya. Dan Pidi hidup apa adanya, sederhana dan otentik, persis seperti gaya tulisannya. Tidak berbunga-bunga mencoba nyastra seperti  gaya tulisan Happy Salma. 

Leave a Reply